Tanggal 29 Agustus 2006 yang bertepatan dengan hari Selasa, 4 Sya’ban 1427 H adalah hari yang akan selalu kukenang di antara sekian kenangan indah dalam hidupku. Hari perjuangan hidup matiku yang ketiga. Pertolongan Allah lewat kepedulian seorang Murabbi. Hadirnya kebahagiaan di antara kesedihan. Teladan keindahan akhlaq lewat laku nyata Murabbi Abi Ihya’.
Pagi itu kurasakan kontraksi ringan pada kehamilan yang sudah masuk usia sembilan bulan. Bergegas aku minta tolong pada sepupu untuk mengantar ke bidan. Hanya ingin memastikan jika itu bukan kontraksi palsu. Dengan dibonceng sepeda motor, aku diantar ke bidan yang jaraknya sekitar satu kilometer. Ternyata setelah diperiksa, baru bukaan satu. Kuputuskan kembali pulang, karena aku tidak suka menunggu berdiam diri di bidan, apalagi sendirian.
Baca juga: Abi, Antum Ka Abuya
Maka aku pulang dan kembali beraktivitas seperti biasa, mengerjakan pekerjaan rumah dan momong anak pertama dan kedua yang masih kecil-kecil. Yang penting aku sudah wanti-wanti kepada saudara sepupu yang rumahnya tidak jauh dari rumah orangtuaku untuk siap setiap saat kalau aku sudah perlu bantuan mengantar ke bidan.
Terpaksa aku merepoti sepupuku karena posisiku saat itu di rumah orangtua Ngebruk, sedang suami kerja di Kediri. Orangtua yang sudah sepuh juga tidak bisa mengantar. Sedang saudara kandung rumahnya jauh.
Menjelang siang kurasakan kontraksi semakin rapat dan teratur. Karena ini adalah kehamilan ketiga, maka aku sudah hapal tanda-tanda kontraksi yang sudah mendekati masa kelahiran. Segera kuhubungi sepupu untuk mengantar kembali ke bidan. Kutitipkan dua anakku pada emak di rumah. Bapak masih sibuk di sawah. Kutenteng tas berisi perlengkapan melahirkan yang sudah kusiapkan jauh hari. Kembali aku dibonceng sepeda motor sepupuku menuju bidan.
Sampai di rumah bidan, kondisi sepi, tidak ada pasien lain. Ternyata Bu bidan masih dinas di polindes (poliklinik desa). Hanya ada pembantu rumahtangga. Setelah telepon Bu bidan, aku disuruh menunggu kepulangan beliau. Aku diarahkan ke ruang persalinan oleh pembantu Bu bidan. Sepupuku kusuruh pulang, karena aku tahu dia juga punya kerepotan dan aku tidak ingin dia lama menungguku.
Sendiri menghadapi persalinan bukan sesuatu yang menakutkan bagiku. Suami setelah kutelepon juga belum memungkinkan untuk langsung pulang, apalagi tanggal tua saat pekerjaan kantor banyak.
Sambil menunggu Bu bidan datang, kuisi waktu dengan berjalan-jalan di sekitar ruangan sambil terus melantunkan dzikir mau melahirkan yang sudah diajarkan Murabbi, Abi Ihya’ Ulumiddin. Dan sudah menjadi kebiasaanku sejak kehamilan anak pertama, setiap mau melahirkan aku selalu menelepon atau SMS tiga guru utamaku, yaitu Abi Ihya’, ustadz Junaidi, dan ustadz Arif Wibowo. Aku akan meminta do’a beliau-beliau untuk kelancaran melahirkan.
Saat menelpon Abi Ihya’…
“Assalamu’alaikum, Abi. Niki Sulik,” sapaku. “Abi, nyuwun do’anipun. Niki dalem sampun kontraksi badhe babaran,” pintaku. (Abi minta doanya. Ini saya sudah kontraksi mau melahirkan).
“Awakmu nang endi iki?” (Kamu di mana?)
“Dalem teng Ngebruk, Abi. Dateng bidan,” jawabku. (Saya di Ngebruk, Abi. Di rumah bidan).
“Aku iki onok acara nang Blitar karo kanca-kanca. Ngebruk endi awakmu?” (Aku ini ada aara di Blitar dengan teman-teman. Ngebruk mana kamu?)
“Dateng bidan Endang, Abi. Pinggir radosan. Ngajenge polsek,” terangku. (Di bidan Endang, Abi. Pinggir jalan. Depan polsek).
“Yo wis, engko tak mampir karo kanca-kanca.” (Ya sudah, nanti aku mampir dengan teman-teman).
MaasyaaAllah, membuncah bahagia mendengar beliau akan menjengukku.
***
Menjelang zhuhur Bu bidan sudah datang dari dinas lalu memeriksa diriku.
“Sudah bukaan lima, Bu. InsyaAllah nanti zhuhur perkiraannya sudah lengkap,” ujar beliau.
Lalu beliau masuk ke dalam rumah kembali. Kebetulan ruang persalinan ada di bagian belakang rumah beliau. Kondisiku saat itu sudah tidak kuat jalan, jadi hanya berbaring sambil terus wiridan. Tidak lama, pembantu Bu bidan datang membawakan makan siang untukku. Langsung kumakan sampai habis agar cukup tenaga untuk melahirkan. Mbak pembantu itu sibuk mempersiapkan keperluanku melahirkan.
Selesai makan, aku ke kamar mandi untuk wudhu, karena sudah masuk waktu zhuhur. Aku siap-siap shalat zhuhur sambil duduk. Selesai shalat, aku kembali berbaring, merasakan dan menikmati kontraksi yang makin aduhai rasanya. Allah, Allah, Allah… hanya itu yang bisa kulantunkan di antara rasa sakit kontraksi. Sesekali Mbak pembantu mengusap-usap punggung saya yang berbaring miring. Sempat berpikir, katanya Bu bidan zhuhur, tapi kok belum juga lahir?
Tak lama berselang, Abi Ihya’ beserta rombongan santri Pujon rawuh. Entah berapa orang dan siapa saja, aku tak tahu, karena aku sudah tidak kuat lagi untuk bangkit. Hanya Abi Ihya’ yang masuk ke ruang tempatku berbaring. Beliau langsung mendo’akan di atas perutku. MaasyaaAllah, rasanya perut saat dido’akan itu hangat dan janin seperti bergerak-gerak.
Beliau kemudian keluar ruangan. Kukira pulang, ternyata tidak. Beliau melanjutkan membacakan wirid mau melahirkan bersama para santrinya. Kontraksi yang kurasakan makin sakit. Rasa-rasanya sudah mau keluar.
Kuminta Mbak pembantu untuk memanggil Bu bidan. “Sabar Bu, ditahan dulu,” kata si Mbak.
“Ditahan gimana, lha wong sudah mau keluar masak diempet?” batinku.
Tak lama Bu bidan masuk ruangan dan memeriksa bukaan. Ternyata sudah lengkap. Beliau segera mengambil perlengkapannya. Saat beliau masih memakai celemek, janin sudah tidak sabar untuk keluar. Dan seketika terdengar tangis bayi yang baru lahir. Dengan agak tergopoh, Bu bidan segera melakukan apa yang seharusnya dilakukan. Alhamdulillah, akhirnya putri ketigaku lahir dengan selamat.
Setelah bayi dibersihkan dan aku selesai dirawat, maka kugendong bayi itu keluar ruangan menemui Abi Ihya’. Beliau kemudian membacakan adzan dan iqamah di kedua telinga bayiku. Dilanjut dengan melantunkan do’a. Disela haru, aku hanya bisa mengaminkan setiap do’a yang beliau lantunkan. Lalu beliau berkenan untuk mentahnik sekalian bayiku. Namun karena aku dan Bu bidan tidak punya persediaan kurma, akhirnya bayiku hanya ditahnik dengan madu Bu bidan. Alhamdulillah ‘ala kulli haal.
“Abi, nyuwun nami sekalian,” pintaku sambil tersenyum malu. (Abi minta nama sekalian).
Abi hanya tersenyum, ciri khas beliau yang selalu tersenyum. Entahlah, ternyata Abi langsung memberikan jawaban.
“Namakan Bariqoh Fahma Ummi Inas,” ngendikan beliau sambil menyerahkan secarik kertas yang sudah tertulis nama dan arti dari nama tersebut padaku. MaasyaaAllah…
Tak lama kemudian beliau dan santri-santrinya pamit. Antara senang dan malu aku hanya bisa mengucapkan, “Jazakumullah Abi, maturnuwun. Ngapunten Mas Hadi dereng saged manggihi.” (Terima kasih, Abi. Maaf Mas Hadi belum bisa menemui).
“Salam gawe bojomu,” ngendikan beliau sambil senyum. (Salam buat suamimu).
“Nggih, InsyaAllah,” hanya itu yang bisa kuucap.
***
MaasyaaAllah… Subhaanallaah… Allahu Akbar! Hanya syukur yang bisa kupanjatkan pada Allah, Alhamdulillah. Saat harus sendirian melahirkan, ternyata Allah memberikan kegembiraan dengan hadirnya Murabbi Abi Ihya’ lengkap dengan do’a beliau. Sesuatu yang benar-benar jauh dari bayangan saya sebelumnya. Aku yang hanya santri kalong, yang masih jauh dari meneladani akhlaq beliau, yang masih kurang khidmahnya, ternyata diberi kesempatan untuk merasakan kebahagian ditunggui dan dido’akan saat melahirkan.
Terlintas dalam pikirku, “Mana ada Kiai nunggui santrinya melahirkan?” Bisa saja kan beliau tidak perlu repot-repot dengan cukup menjawab teleponku lalu mendo’akan. Nyatanya, beliau justru mau repot-repot menjenguk, bahkan menunggui hingga selesai. Dan, sungguh rezeki putri ketigaku yang mendapat paket lengkap sekali waktu dari beliau. Ditunggui, dido’akan, adzan, iqamah, tahnik, dan nama.
Saat aku kembali ke ruang bersalin, Mbak pembantu berucap, “Saya senang kalau nunggu orang melahirkan seperti ini. Orangnya gak rewel, diam, lahirnya lancar dan tidak jetheh.” Kebetulan memang darah wiladahku tidak banyak dan tidak sampai nyiprat ke mana-mana. Bu bidan sambil tersenyum berucap, “Lha dido’akan Pak Yai, makanya cepet dan gampang lahirnya.”
Aku hanya menanggapi dengan senyuman sambil membatin, itulah barakah Murabbiku yang selalu hadir dengan keindahan akhlaq beliau.
“ |
Seiring berjalannya waktu, do’a Abi Ihya’ dan nama pemberian beliau sungguh terlihat pada putri ketigaku. Tumbuh sesuai namanya. Semoga Allah terus menjaganya.
Laku nyata itu benar-benar terlihat pada Murabbi Abi Ihya’ kami, bukan sebatas nasihat. Nguwongne uwong, nyenengne uwong, nggatekne uwong, ora nggelakne uwong. Dan teladan itu akan terus membekas dalam hatiku, walau sungguh, seringkali aku masih jauh dari meneladani beliau. Semoga Allah Subhaanahu wa ta’aalaa terus menjaga beliau, melimpahkan kesehatan pada beliau, dan menjaga seluruh keluarga hingga keturunan beliau.
Wallahu yatawallal jami’ biri’aayatih.
Dikisahkan oleh: Ummu Inas, Ketua DPC Anshoriyah Kediri, Bendahara Lazis Al-Haromain Cabang Kota Kediri