Ternyata dugaan orang-orang kafir meleset. Perpecahan dalam tubuh keluarga Nabi tidak terjadi. Begitu pula perpecahan dalam tubuh umat Islam yang terdiri atas keluarga di luar Bani Hasyim dan Bani Muthalib juga tidak terlaksana. Mereka tetap utuh dan bersatu padu.

Yang paling berjasa mengompakkan kesetiaan keluarga dengan Abu Thalib. Ia berhasil menggalang ikatan keluarga Bani Muthalibsehingga, tanpa menghiraukan agama dan kepercayaan masing-masing, mereka seia-sekata menghadapi pengucilan oleh seluruh bangsa Arab itu. Ia mengajak mereka untuk tetap bersatu dalam solidaritas keturunan dan rasa sedarah, kecuali Abu Lahab yang bergabung dengan pihak musuh.

Barangkali alasan inilah yang menyebabkan Abu Thalib tidak bersedia mengakui kebenaran agama Muhammad secara lisan walaupun ia ikut berusaha keras untuk memenangkan kejayaan Islam. Ia tidak bergeming meskipun sering di sindir oleh saudaranya, Abu Lahab yang mengatakan, “Engkau tidak bisa berkutik mengekor dibelakng anak engkau yang kini di angkat oleh Muhammad sebagai wakilnya.”

Pernah Abu Thalib menyatakan, “Sebetulnya aku ingin memeluk agama Islam, tetapi aku khawatir bakalmenjadi ejekan pendudukan Mekkah jika mereka melihat aku menjalankan salat.”

Dalih ini bukan timbul dari sifatnya yang tinggi hati dan haus pujian. Semata-mata dilakukan demi kepentingan kemenakannya, Muhammad. Sebab, bila ia sudah direndahkan oleh kaumnya, bukankah ia tidak mempunyai wibawa atas mereka? Dan andaikata mereka sudah tidak memandang sebelah matakepadanyaserta tidak segan lagi  menghadapinya, tidakkah berarti ia kehilangan kekuasaan atas mereka? Lalu akibatnya ia tidak dapat melindungi Muhammad dengan menggunakan pengaruhnya.

Karena itulah Rasulullah menyayanginya dan patuh mendengarkan semua nasihatnya walaupun, dari segi keagamaan, Abu Thalib tidak termasuk golongannya. Seperti dalam menanggulangi pengucilan itu, yang telah membuat uamt Islam sengsara, Rasulullah sepenuhnya mengandalkan kebijaksanaan pamannya itu sehingga, sejak hari pengucilan dimulai, keluarga Bani Hasyim dan Bani Muthalib, baik yang telah beriman maupun yang masih kafir, berangkat meninggalkan kota Mekkah menuju sebuah lembah di bawah jurang kepunyaan Abu Thalib yang biasa dipakainya untuk tempat keluarganya menyingkir. Lembah itu dikenal dengan sebutan Syi’ib Abu Thalib.

Adapun umat Islam dari keluarga-keluarga lain, sebagai tetap kompak mempertahankan kehadiran dan keberadaan mereka di kota Mekkah. Merekalah yang meneruskan perjuangan secara diam-diam.

Selama dua tahun mereka diasingkan, dengan penjagaan ketat oleh pasukan bersenjata, supaya tidak seorang manusia pun dapat berhubungan dengan mereka. Sungguh mengenaskan penderitaan yang mereka alami. Namun hasilnya, mereka tambah totoh menghimpun kekuatan, dan makin tabah menghadapi kesulitan. Kesetiakawanan antarsaudara sekeluarga dan seagama kian menebal.

Dari segi penghidupan, mereka memang sangat kewalahan. Persediaan makanan sudah menipis sebab mereka dilarang menampakkan diri di pasar-pasar jika tidak mau menerima risiko diburu dan dianiaya. Kalaupun ada yang berhasil mengikuti perjalanan kafilah niaga, mereka dicekik dengan harta berlipat ganda apabila mereka bermaksud membeli kebutuhan hidup sehari-hari lantaran para pedagang takut dituduh terlibat membantu mereka. Abu Jahal telah mengumumkan akan menyita mata dagangan mereka jika ketahuan bersekongkol dengan keluarga Bani Hasyim dan Bani Muthalib. Bagaikan berada di kawah candradimuka, merka ditimpa kesukaran habis-habisan sampai terpaksa para orang tua mengais-ngais daun-daun di lembah itu untuk menangsal perut.

Meskipun begitu, toh masih ada juga warga Mekkah yang berani menantang bahaya dengan menolong mereka sewaktu-waktu seperti yang sering dilakukan oleh Hisyam ibn Amru, saudagar besar yang kaya-raya. Ia menjalankan muslihat yang cerdik. Bila hari mulai gelap, ia menggiring seekor unta yang sarat dengan bahan pangan hingga ke tepi jurang Syi’ib Abu Thalib. Dengan sedikit kekejaman, ia membiarkan untanya terjerumus ke dalam jurang. Dengan begitu, mereka bisa memperoleh makanan sekaligus daging unta yang langsung di sembelih supaya halal dimakan.

Ikrar yang telah dicanangkan oleh kaum musyrikin sungguh kejam, sebab mereka tidak akan menghentikan pengucilan itu kecuali dengan dua syarat. Pertama, keluarga Bani Hasyim dan Bani Muthalib harus secara sukarela menyerahkan Muhammad ke tangan mereka. Kedua, apabila pengumuman yang dipasang didinding ka’bah itu hancur dengan sendirinya, apakah lantaran dimakan ngengat atau ditiup angin. Padahal, rasanya hal itu mustahil terjadi karena lembar pengumuman itu dipasang di bagian dalam Ka’bah.

Namun, pada suatu malam Rasulullah terjaga tiba-tiba, lantas berkata kepadakepada Abu Thalib: “Paman, saya melihat dalam mimpi, lembar pengumuman pengucilan itu telah habis dimakan ulat. Berarti kita telah bebas dari masa pengasihan.”

Esok harinya Abu Thalib bersama saudara-saudarnya berangkat ke Mekkah. Orang-orang kaum musyrik tertawa kegirangan melihat wajah mereka kusut masai dan badan mereka kurus kering. Para penyembah berhala itu mengira Abu Thalib akan menyerah dan bersedia membawa Muhammad untuk dihukum.

“Selesai sudah masa pengasingan kalian dengan kedatanganmu pada hari ini untuk melepaskan Muhammad dari ikatan keluargamu. Betul, bukan?” tanya Abu Jahal seraya tersenyum kemenangan.

Abu Jahal mendengus sebal. “Tidak sedikit pun keluarga kami mau menyerah. Kedatangan kami adalah untuk memberitahukan bahwa sudah waktunya kami dibebaskan.”

“Angin dari mana yang membuatmu memperoleh kesimpulan begitu?”

“Muhammad memberi tahu, lembar pengumuman yang kalian pasang di dinding Ka’bah dan dipateri kuat dalam bingkai tertutup rapat, telah habis dimakan ulat.”

“Masih juga kalian mempercayai omong kosongnya?” damprat Abu Jahal. “Tidak mungkin. Kami sudah sangat cermat membungkus pengumuman itu agar tidak ternoda sedikit pun.”

“Begini saja. Kalau ucapan Muhammad itu benar, bayarkan segera hak kami untuk hidupbebas seperti sedia kala. Namun, bila ternyata Muhammad berdusta, dan pengumuman itu masih utuh, kami dengan sukarela akan menyerahkan Muhammad kepada kalian,” jawab Abu Thalib.

“Setuju,” sahut Abu Jahal dan kawan-kawannya dengan gembira. Mereka yakin, kali ini Muhammad hanya membual hampa belaka. Dengan demekian mereka akan dapat membinasakannya sehingga penduduk Mekkah akan terbebas dari pengaruh agamanya.

Alangkah terperanjatnya Abu Jahal dan konco-konconya. Sesudah bingkai itu dibongkar, terbukti sudah hancur sama sekali isinya. Pengumuman itu tinggal remahan-remahan lembut seperti bubuk. Juga tulisan-tulisan lain yang terdapat di situ sudah tidak ada sisanya lagi. Yang masih terpampang dengan megah adalah sepotong ayat Al-quran yang berbunyi: “Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Penyayang”

Wajah seluruh kaum musyrikin pucat pasi. Dan Abu Jahal adalah orang pertama yang keluar dari Ka’bah sambil menyumpah-nyumpah. Ia bersikeras hendak membatalkan perjanjian itu, bahwa dengan bukti kebenaran ucapan Muhammad, mereka harus membiarkan keluarga Bani Hasyim dan Bani Muthalibbeserta umat islam lainnya untuk kembali ke rumah masing-masing di Mekkah.

Tetapi, niatnya itu di tentang keras oleh rekan-rekan nya sendiri. Teutama oleh Hisyam bin Amru , Zuhair bin Umayyah, Muth’im bin Abdi, dan sejumlah tokoh lain pengumuman pengucilan tersebut. Menghadapi perlawanan mereka, Abu Jahal tidak bisa berbuat apa-apa sehingga sejak hari itu, umat Islam dapat menjalankan kegiatan keagamaan mereka seperti yang sudah-sudah, di bawah pimpinan Rasulullah saw.

Referensi: 30 Kisah Teladan, Abdurrahman Ar-Roisi.