Rahasia bulan Islam: Bulan Jumadil ‘Ula / Awwal

Banyak peristiwa yang terjadi di bulan Jumadil Awwal atau Jumadil Ula. Selain merupakan bulan kelahiran beberapa ulama dan awliya’ besar, seperti Imam Ghazali dan Imam Ali Zainal Abidin, bulan kelima dalam kalender Hijriyah ini juga menjadi saksi keteguhan seorang pejuang muslim sejati, Abdullah bin Zubair bin Al-‘Awwam, dan ibunya, Asma’ binti Abu Bakar Ash-Shiddiq. Tanggal 17 Jumadil Awwal adalah hari ketika Abdullah dihukum mati oleh Hajjaj bin Yusuf, salah seorang punggawa yang sangat terkenal kezhalimannya.

Kisah Pejuang Muslim Sejati – Cucu Abu Bakar Ash-Shiddiq

Tentang Asma’ binti Abu Bakar, sang bunda, catatan sejarah telah mengabadikan kisah-kisah keteguhan hatinya. Pada masa mudanya, ia adalah gadis yang mengantarkan bekal makanan ke Gua Tsur untuk ayahandanya, Abu Bakar Ash-Shiddiq ra., yang tengah menemani junjungannya, Rasulullah saw. dalam menempuh perjalanan hijrah ke Madinah. Gurat rona merah bergambar telapak tangan di pipinya juga mengisahkan kesetiaannya melindungi tempat persembunyian junjungannya di Gua Tsur meski Abu Jahal menginterogasinya dengan kekerasan.

Sedangkan mengenai putranya, Abdullah bin Zubair, diceritakan, beberapa tahun setelah Tragedi Karbala, pemerintah Bani Umayyah kembali membidik tokoh-tokoh muslim yang dianggap musuhnya. Sebelum wafatnya, Mu’awiyyah telah memberikan wejangan khusus tentang tiga tokoh yang dianggap potensial akan merongrong kewibawaan pemerintahannya.

“Ada tiga orang yang bisa menjadi pesaingmu,” kata Mu’awiyyah sebelum ajal menjemput nyawanya. “Husain bin Ali, Abdullah bin Zubair, dan Muhammad bin Abdurrahman. Mereka adalah orang-orang yang ucapannya akan didengar oleh kaum muslimin. Muhammad bisa diabaikan, karena ia terlalu sibuk memikirkan akhiratnya. Sedangkan Husain adalah seorang yang berhati teguh dan ikhlas. Jika ia memberontak dan kau berhasil mengalahkannya, ampunilah dia. Betapapun ia masih keluarga kita. Tapi berhati-hatilah terhadap Abdullah bin Zubair. Ia orang yang tak mengenal kompromi. Jika kau berhasil mengalahkannya, bunuhlah dia,” kata Mu’awiyyah kepada Yazid, penerus pemerintahannya.

Sang Pewaris Mulai Dibidik oleh Yazid

Namun, Yazid tetaplah Yazid. Setelah pasukannya berhasil mengalahkan pengikut Sayyidina Husain, cucu sang Nabi itu pun tetap dibantai habis. Tak lama kemudian, Abdullah bin Zubair mulai dibidik melalui begundalnya yang bengis, Hajjaj bin Yusuf. Berbagai teror dilancarkan kepada cucu Abu Bakar Ash-Shiddiq itu, hingga Abdullah tak bisa menahan diri dan mengangkat senjata.

Kesempatan itu digunakan Hajjaj untuk mengerahkan pasukan dan menyerang Abdullah beserta pengikutnya yang tinggal di Kota Suci Makkah. Setelah pengepungan selama berhari-hari, pertempuran meletus di sekitar Masjidil Haram, yang dijadikan basis perlindungan terakhir oleh pengikut Abdullah bin Zubair. Tanpa memandang kesuciannya, pasukan Hajjaj melontarkan manjanik-manjanik (batu lontar) ke jantung masjid paling mulia itu, hingga sebagian dinding Ka’bah berlubang.

Setelah sebagian pengikutnya gugur, pengepungan yang ketat membuat beberapa pengikutnya yang lain mulai menyerah. Dengan gundah, Abdullah bin Zubair menghadap sang bunda, yang saat itu usianya sudah mendekati 100 tahun, sakit-sakitan dan hampir buta, untuk berkeluh kesah.

Perbincangan Antara Abdullah bin Zubair dengan Ibunya

Abdullah berkata kepada ibunya, “Wahai ibu, orang-orang telah mengkhianatiku, bahkan juga istri dan anakku. Tidak ada yang tersisa, kecuali sedikit orang yang agaknya sudah tidak tahan untuk bisa bersabar lebih lama lagi. Sementara Hajjaj dan pasukannya menawarkan kesenangan apa saja, asal aku mau tunduk kepada mereka.”

Mendengar keluh kesah sang putra, Asma’ – mengalahkan rasa ibanya, demi menjaga harga diri – menjawab dengan tegas, “Demi Allahu, anakku, engkau lebih tahu tentang dirimu. Jika menurutmu engkau berada di jalan yang benar, teruskan langkahmu. Sahabat-sahabatmu pun telah banyak yang terbunuh karena mempertahankan kebenaran itu.”

Lanjut Asma’ lagi, “Janganlah sekali-kali engkau mau dipermainkan budak-budak Bani Umayyah. Jika engkau menginginkan dunia, engkau adalah seburuk-buruk hamba yang mencelakakan dirimu sendiri dan orang-orang yang berjihad bersamamu.”

Abdullah berkata lagi, “Demi Allah, aku pun berpendapat seperti itu, ibu! Hanya saja aku khawatir orang-orang Syam itu akan menyayat-nyayat dan menyalib tubuhku bila aku terbunuh.”

Sang ibu kembali menegaskan, “Anakku, sesungguhnya kambing tidak akan merasakan sakitnya dikuliti lagi setelah disembelih. Teruskan langkahmu, dan mintalah pertolongan kepada Allah.”

Ketika keduanya berpelukan mengucapkan selamat berpisah, tangan sang bunda menyentuh baju besi yang dipakai Abdullah. Asma’ pun berkata, “Apa-apaan ini, Abdullah? Orang yang memakai ini adalah orang yang menginginkan sesuatu yang tidak engkau inginkan!”

Abdullah segera melepas baju besinya dan keluar untuk berperang dengan gagah berani. Usia Abdullah yang tak lagi muda membuatnya hanya bertahan beberapa saat sebelum akhirnya terbunuh.

Kebanggan Seorang Ibu pada Sang Anak

Hajjaj lalu memerintahkan agar jenazah Abdullah bin Zubair disalib tinggi di sisi Ka’bah dengan harapan ibunya akan melihatnya sehingga hatinya akan melemah dan tunduk kepada pemerintah. Namun tak seperti yang diharapkan Hajjaj, ketika ibunda Abdullah bin Zubair thawaf dan melihat jasad anaknya tergantung tinggi, ia justru tersenyum dan berkata, “Aku bangga padamu, anakku. Ketika hidup, engkau lebih tinggi dari orang-orang di sekitarmu. Ketika mati pun engkau tetap lebih tinggi dari orang-orang di sekitarmu.”

Dalam riwayat lain disebutkan, Hajjaj berkata kepada Asma’ dengan angkuh, “Bagaimana pendapatmu tentang apa yang kuperbuat terhadap anakmu, wahai Asma’?”

Dengan datar Asma’ menjawab, “Engkau telah memporakporandakan dunianya, sedang dia telah memporakporandakan akhiratmu.”
Abdullah bin Zubair gugur pada 17 Jumadil Awwal 73 H, dan beberapa hari kemudian sang ibu menyusulnya berpulang ke rahmatullah. Meski wafat dalam usia hampir 100 tahun, jasad Asma’ masih terlihat cantik, dan tak ada satu pun giginya yang tanggal.

4 Bulan yang di Hormati, karena dilarang Berperang

Disebut “bulan terlarang”, karena empat bulan itu adalah bulan-bulan yang dihormati dan selama bulan itu orang dilarang berperang kecuali jika diserang, juga dilarang membunuh binatang darat buruan untuk menjamin kelangsungan kehidupan makhluk, suaka margasatwa (QS. Al-Baqarah [2]:217, QS. At-Taubah [9]: 2 dan QS. Al-Maaidah [5]: 96).

Empat bulan terlarang tersebut juga sudah berlaku semenjak purbakala sampai pada zaman Nuh, Ibrahim, Musa dan masa nabi hingga menjadi tradisi berkelanjutan, dan kita tidak mengetahui alasan penamaannya, tetapi adanya dapat difahami dari beberapa Ayat Suci, antara lain QS. Al-Baqarah [2]: 197 yang menerangkan pelaksanaan ibadah Haji. Penamaan keempat bulan itu telah kita terima secara sambung-bersambungan selaku Uswah Hasanah.

Meskipun empat bulan tersebut disebut-sebut sebagai bulan terhormat, namun bukan berarti bulan-bulan yang lain kurang mendapatkan tempat di sisi Allah. Sebab, diciptakannya bulan tak lain adalah untuk menentukan jatuhnya puasa, hari raya (Idul Fitri dan Idul Adha), haji dan ibadah-ibadah sunnah lain. Atas dasar itulah, bulan Jumadil Awwal yang sekarang ini kita masuki, bukanlah bulan yang tanpa makna tentunya.

Asal-usul Bulan Jumadil Ula

Bulan Jumadil Awwal adalah bulan kelima dalam kalender hijriyah. Adapun untuk nama bulan Jumadil Awwal, sebenarnya sudah terjadi sebelum Islam datang. Sebab sebelum kedatangan Islam, masyarakat Arab sudah memakai kalender lunisolar, yaitu kalender lunar (berdasarkan perputaran bulan yang mengelilingi bumi) yang disesuaikan dengan matahari.

Dari model kalender itu, awal tahun (Ra’s as-Sanah) berlangsung setelah berakhirnya musim panas, sekitar bulan September dan untuk bulan pertama dinamai Muharram, sebab pada bulan itu suku atau kabilah di Semenanjung Arabia mengharamkan peperangan. Pada bulan Oktober, karena daun-daun menguning berjatuhan sehingga bulan itu dinamai Shafar (“kuning”). Bulan November dan Desember pada musim gugur (rabi’) berturut-turut dinamai dengan Rabi’ul-Awwal dan Rabi’ul-Akhir.

Jumadil Ula dan Jumadil Akhir

Sementara itu, di bulan Januari dan Februari merupakan musim dingin (jumad atau “beku”) sehingga dinamai Jumadil-Awwal dan Jumadil-Akhir. Arti jumud dan beku itu juga terdapat dalam Kamus Al-Munawwir karya dari KH Munawwir dan Kamus Bahasa Arab Munjid (1952) karya dari Lois Ma’luf. Lalu, salju mencair (Rajab) pada bulan Maret. Bulan April di musim semi merupakan bulan Sya’ban (syi’b=lembah) saat turun ke lembah-lembah untuk mengolah lahan pertanian atau menggembala ternak. Pada bulan Mei suhu mulai membakar kulit lalu suhu meningkat di bulan Juni. Itulah bulan Ramadhan (“pembakaran”) dan Syawwal (“peningkatan”). Bulan Juli merupakan puncak musim panas yang membuat orang lebih senang duduk di rumah dari pada bepergian, sehingga bulan ini dinamai Dzul-Qa’dah (qa’id = duduk). Akhirnya, Agustus dinamai dengan bulan Dzulhijjah sebab pada bulan itu masyarakat Arab menunaikan ibadah haji ajaran nenek moyang mereka, Nabi Ibrahim a.s.

Nama-nama tersebut, toh tetap digunakan meski dalam penanggalan Islam tak lagi tergantung kepada perjalanan matahari. Dengan kalat lain, nama-nama bulan dari Muharram sampai Dzulhijjah tetaplah digunakan, karena sudah terlanjur populer di masyarakat, bulan-bulan tersebut bergeser setiap bulan dari musim ke musim, sehingga Ramadhan tidak selalu jatuh pada musim panas dan Jumadil-Awwal (Jumadil Ula) tidak pula selalu jatuh pada musim dingin. Jadi, soal penamaan bulan Jumadil Awwal sudah terjadi sebelum Islam datang dan itu didasarkan pada kalender lunar (berdasarkan pada perputaran bulan mengelilingi bumi) disesuaikan dengan matahari. Kepopuleran nama itu juga terus berlanjut, termasuk bulan Jumadil (awwal dan Akhir).

Pendamaan dan Arti Bulan Jumadil Ula

Demikianlah, setidaknya sejarah akan penamaan dan arti dari bulan Jumadil Awwal. Sebuah bulan “kebekuan” karena dalam musim dingin, tetapi tidak harus membuat kita beku berpikir, diam berpangku tangan, malas dalam bekerja apalagi sampai berleha-leha saja dalam melewati bulan tersebut. Sebab, nabi Muhammad tidak mengajarkan umatnya untuk beku dalam berpikir. Malah pada bulan Jumadil Awwal (Jumadil Ula) itu, dalam sejarah perjalanan nabi sempat tercatat pernah berperang dan melakukan perjalanan yang cukup jauh.

Penyeragngan Rasulullah terhadap Kaum Quraisy

Saat itu, untuk kesekian kalinya Rasulullah mengadakan penyerangan terhadap kaum Quraisy (perang al-`Usyairah). Nabi bersama pasukan kaum muslim berjalan melintasi daerah Bani Diinar, melintasi daerah Al-Khaibar dan singgah di bawah pohon di tanah lapang milik Ibnu Azhar. Di tempat itu Rasul sempat mengerjakan shalat dan membangun sebuah masjid. Tempat itu, dikenal Atsaafi Al-Burmah. Kemudian Rasulullah berjalan meninggalkan orang-orang di daerah Yasar (nama tanah dekat Madinah milik Abdullah bin Ahmad bin Jahsy) dan melintasi jalan di sela-sela perbukitan bernama bukit Abdullah. Lalu berbelok ke kiri hingga sampai ke daerah Yalyal dan singgah di perkampungan penduduk Adh Dha-buu’ah.

Selanjutnya beliau melintasi Al-Farasy atau Farasy Milal dan sampai di persimpangan Shukhairat Al-Yamam. Beliau berbelok dan sampai di Al-Usyairah, nama sebuah tempat di Yanbu’. Beliau berada di sana pada bulan Jumadil Ula dan beberapa malam di bulan Jumadil Akhir. Bani Mudallaj dan sekutunya dari Bani Dhamrah melepas beliau hingga kembali ke Madinah tanpa menemui halangan apapun

Selain itu, sejarah Islam juga mencatat Fatimah Az-Zahra, yang mati sahid di bulan Jumadil Awwal (13 Jumadil Awwal 11 H). Juga, Ibnu Abdussalam, seorang ulama fiqih, hakim dan khatib kaum muslimin Kairo, wafat 22 Jumadil Awwal (Jumadil Ula) tahun 660 Hijriah dan Ibnu Haj, seorang ulama besar di bidang fiqh wafat 20 Jumadil Awwal ( Jumadil Ula ) tahun 737 Hijriah. Dari situ, kita sudah selayaknya meneruskan perjuangan mereka mengibarkan bendera Islam, apalagi kita sekarang ini hidup dalam kebekuan zaman. Karenanya, jadikanlah bulan Jumadil Awwal ini sebagai pintu merenung di tengah kejumudan zaman.

[]