Keadilan Komunikasi, Cara Memantaskan Diri

A VPN is an essential component of IT security, whether you’re just starting a business or are already up and running. Most business interactions and transactions happen online and VPN

CAHAYA FAJAR |  KEADILAN KOMUNIKASI, CARA MEMANTASKAN DIRI
oleh | Akhmad Muwafik Saleh

Berlaku adil adalah dekat dengan taqwa. Adil adalah adalah salah satu sifat keagungan Tuhan, sehingga seseorang yang berlaku adil sebenarnya sedang membumikan sifat ketuhanan. karena itu mempraktekkannya amatlah berat kecuali bagi mereka yang telah diberi petunjuk dan dibimbing oleh Allah swt. Bertindak adil adalah suatu bentuk komunikasi antar manusia yang menempatkan diri dalam posisi mengayomi, memperdulikan dan bertanggungjawab, yaitu memperlakukan orang lain secara sama atau sejajar baik dalam interaksi maupun di hadapan aturan dan hukum. Allah swt berfirman :

۞إِنَّ ٱللَّهَ يَأۡمُرُكُمۡ أَن تُؤَدُّواْ ٱلۡأَمَٰنَٰتِ إِلَىٰٓ أَهۡلِهَا وَإِذَا حَكَمۡتُم بَيۡنَ ٱلنَّاسِ أَن تَحۡكُمُواْ بِٱلۡعَدۡلِۚ إِنَّ ٱللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُم بِهِۦٓۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ سَمِيعَۢا بَصِيرٗا

Sungguh, Allah menyuruhmu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia hendaknya kamu menetapkannya dengan adil. Sungguh, Allah sebaik-baik yang memberi pengajaran kepadamu. Sungguh, Allah Maha Mendengar, Maha Melihat. (QS. An-Nisa’ : 58)

Kata adil berasal dari kata bahasa arab “adl” yang arti awalnya adalah “sama” , sehingga seseorang yang adil adalah harus memperlakukan orang lain secara sama. Karena “sama” maka tentu adalah dua belah pihak yang menjadi objek dari perilaku adil. Makna lain dari adl adalah “menjadi pantas.” Sehingga seseorang yang berlaku adil maka dirinya telah memantaskan manusia dalam posisi yang sebenarnya. Adl juga bisa bermakna “seimbang.” Sehingga berlaku adil berarti seseorang harus menempatkan orang lain secara sama, sejajar, tidak berat sebelah, ibarat timbangan maka berada posisi berat dan ringan yang sama sehingga neraca pada timbangan berada dalam posisi yang sejajar, dan akhirnya orang lain menganggap bahwa hal demikian menjadi pantas untuk diterima oleh kedua belah pihak.

Seorang yang adil tentu dalam berkomunikasi dengan semua pihak yang terkait akan berupaya memposisikan pada derajat yang sama dan memperlakukan semuanya tanpa berpihak pada salah satunya, bertindak imparsial, tidak berlaku parsial, berdiri pada semua kepentingan dan hanya berpihak pada kebenaran yang menjadi alat penimbang dan pengambilan keputusan, sehingga menjauhkan diri dari kesewenang-wenangan.

Berbagai bentuk keadilan komunikasi dapat kita cermati dalam sejarah perjalanan hidup Rasulullah di berbagai pola hubungan interaksi kemanusiaan, antara lain adalah: Pertama, Rasulullah memperlakukan semua orang sama dihadapan aturan hukum, tidak boleh berpihak sekalipun terhadap orang terdekatnya. Hal ini ditegaskan dalam Firman Allah swt :
Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil walaupun terhadap kerabat…! (QS Al-An’am : 152).

Suatu ketika orang-orang Quraisy pernah mengkhawatirkan tentang keadaan nasab bani makhzumiyah yang kedapatan mencuri. Kemudian mereka seakan meragukan keadilan Rasulullah sehingga mereka menyerukan untuk melobi Rasulullah. Sebagaimana diriwayatkan dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau menceritakan,

أَنَّ قُرَيْشًا أَهَمَّهُمْ شَأْنُ الْمَرْأَةِ الْمَخْزُومِيَّةِ الَّتِي سَرَقَتْ، فَقَالُوا: مَنْ يُكَلِّمُ فِيهَا رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟ فَقَالُوا: وَمَنْ يَجْتَرِئُ عَلَيْهِ إِلَّا أُسَامَةُ، حِبُّ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَكَلَّمَهُ أُسَامَةُ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «أَتَشْفَعُ فِي حَدٍّ مِنْ حُدُودِ اللهِ؟» ثُمَّ قَامَ فَاخْتَطَبَ، فَقَالَ: «أَيُّهَا النَّاسُ، إِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِينَ قَبْلَكُمْ أَنَّهُمْ كَانُوا إِذَا سَرَقَ فِيهِمِ الشَّرِيفُ تَرَكُوهُ، وَإِذَا سَرَقَ فِيهِمِ الضَّعِيفُ أَقَامُوا عَلَيْهِ الْحَدَّ، وَايْمُ اللهِ لَوْ أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ مُحَمَّدٍ سَرَقَتْ لَقَطَعْتُ يَدَهَا»

“Sesungguhnya orang-orang Quraisy mengkhawatirkan keadaan (nasib) wanita dari bani Makhzumiyyah yang (kedapatan) mencuri. Mereka berkata, ‘Siapa yang bisa melobi rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?’ Mereka pun menjawab, ‘Tidak ada yang berani kecuali Usamah bin Zaid yang dicintai oleh rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.’ Maka Usamah pun berkata (melobi) rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (untuk meringankan atau membebaskan si wanita tersebut dari hukuman potong tangan). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamkemudian bersabda, ‘Apakah Engkau memberi syafa’at (pertolongan) berkaitan dengan hukum Allah?’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berdiri dan berkhutbah, ‘Wahai manusia, sesungguhnya yang membinasakan orang-orang sebelum kalian adalah jika ada orang yang mulia (memiliki kedudukan) di antara mereka yang mencuri, maka mereka biarkan (tidak dihukum), namun jika yang mencuri adalah orang yang lemah (rakyat biasa), maka mereka menegakkan hukum atas orang tersebut. Demi Allah, sungguh jika Fatimah binti Muhammad mencuri, aku sendiri yang akan memotong tangannya’” (HR. Bukhari no. 6788 dan Muslim no. 1688)

Kedua, Rasulullah memperlakukan sama dalam memberikan perhatian dan penghormatan. Hal ini terabadikan dalam peristiwa dikala pada suatu hari nabi saw tengah duduk bersama para pemuka Quraisy. Tiba-tiba terdapat sahabat beliau, Abdullah bin Ummi Maktum, salah seorang muadzin Rasulullah yang buta, menanyakan sesuatu kepada beliau, tapi Rasulullah tak menghiraukannya karena sedang sibuk berbicara dengan beberapa tokoh Quraisy, di antaranya Syaibah bin Rabi’ah. Selesai berunding dengan para Quraisy, Rasulullah kemudian bersiap untuk pulang. Namun, mendadak beliau merasa kesakitan. Saat itulah Allah menurunkan Firmannya yaitu surat ‘Abasa ayat 1 sampai 16. Sebagaimana diriwayatkan dalam sebuah hadits :

حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ يَحْيَى بْنِ سَعيدٍ الْأَمَوِيُّ قَالَ حَدَّثَنِي أَبِي قَالَ هَذَا مَا عَرَضْنَا عَلَى هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ
أُنْزِلَ { عَبَسَ وَتَوَلَّى } فِي ابْنِ أُمِّ مَكْتُومٍ الْأَعْمَى أَتَى رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَجَعَلَ يَقُولُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرْشِدْنِي وَعِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلٌ مِنْ عُظَمَاءِ الْمُشْرِكِينَ فَجَعَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُعْرِضُ عَنْهُ وَيُقْبِلُ عَلَى الْآخَرِ وَيَقُولُ أَتَرَى بِمَا أَقُولُ بَأْسًا فَيَقُولُ لَا فَفِي هَذَا أُنْزِلَ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ وَرَوَى بَعْضُهُمْ هَذَا الْحَدِيثَ عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ أُنْزِلَ { عَبَسَ وَتَوَلَّى } فِي ابْنِ أُمِّ مَكْتُومٍ وَلَمْ يَذْكُرْ فِيهِ عَنْ عَائِشَةَ

Telah menceritakan kepada kami Sa’id bin Yahya bin Sa’id Al Umawi, ia berkata; telah menceritakan kepadaku ayahku, ia berkata; ini adalah apa yang telah kami sebutkan kepada Hisyam bin ‘Urwah dari ayahnya dari Aisyah, ia berkata; telah diturunkan surat ‘Abasa wa tawalla mengenai Ibnu Ummi Maktum, seseorang yang buta. Ia datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata; wahai Rasulullah, berilah aku petunjuk! Sementara di sisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam terdapat pejabat-pejabat elit orang-orang musyrik. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berpaling darinya dan menghadap kepada orang-orang elit musyrik itu. Maka Ibn Maktum berkata: Apakah anda melihat cela pada apa yang aku katakan? Beliau menjawab: “Tidak.” Karena sikap nabi inilah wahyu diturunkan. Abu Isa berkata; hadits ini adalah hadits hasan gharib. Dan sebagian mereka meriwayatkan haids ini dari Hisyam bin ‘Urwah dari ayahnya. Ia berkata; ‘Abasa wa tawalla diturunkan mengenai Ibnu Ummi Maktum, dan ia tidak menyebutkan dari Aisyah. (HR. Tirmidzi. No. 3254)

Ayat 1-16 dari surat ‘abasa yang dimaksud tersebut adalah sebagaimana berikut :

عَبَسَ وَتَوَلَّىٰۤ ۝ أَن جَاۤءَهُ ٱلۡأَعۡمَىٰ ۝ وَمَا یُدۡرِیكَ لَعَلَّهُۥ یَزَّكَّىٰۤ ۝ أَوۡ یَذَّكَّرُ فَتَنفَعَهُ ٱلذِّكۡرَىٰۤ ۝ أَمَّا مَنِ ٱسۡتَغۡنَىٰ ۝ فَأَنتَ لَهُۥ تَصَدَّىٰ ۝ وَمَا عَلَیۡكَ أَلَّا یَزَّكَّىٰ ۝ وَأَمَّا مَن جَاۤءَكَ یَسۡعَىٰ ۝ وَهُوَ یَخۡشَىٰ ۝ فَأَنتَ عَنۡهُ تَلَهَّىٰ ۝ كَلَّاۤ إِنَّهَا تَذۡكِرَةࣱ ۝ فَمَن شَاۤءَ ذَكَرَهُۥ ۝ فِی صُحُفࣲ مُّكَرَّمَةࣲ ۝ مَّرۡفُوعَةࣲ مُّطَهَّرَةِۭ ۝ بِأَیۡدِی سَفَرَةࣲ ۝ كِرَامِۭ بَرَرَةࣲ)

Artinya:
1. Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling, 2. karena telah datang seorang buta kepadanya. 3. Tahukah kamu barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa) 4. atau dia (ingin) mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu memberi manfaat kepadanya? 5. Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup, 6. maka kamu melayaninya. 7. Padahal tidak ada (alasan) atasmu kalau dia tidak membersihkan diri (beriman). 8. Dan adapun orang yang datang kepadamu dengan bersegera (untuk mendapatkan pengajaran). 9. sedangkan ia takut kepada (Allah), 10. maka kamu mengabaikannya. 11. Sekali-kali jangan (demikian)! Sesungguhnya ajaran-ajaran Tuhan itu adalah suatu peringatan, 12. maka barang siapa yang menghendaki, tentulah ia memperhatikannya, 13. di dalam kitab-kitab yang dimuliakan, 14. yang ditinggikan lagi disucikan, 15. di tangan para penulis (malaikat), 16. yang mulia lagi berbakti.

Perhatikan, bagaimana Allah swt mengajarkan kepada Rasulullah untuk juga berlaku adil terhadap orang buta dari kalangan masyarakat bawah atau biasa sekalipun. Dan disaat Rasulullah mengabaikannya maka seketika itu pula Allah swt mengingatkannya. Hal ini mengandung suatu pembelajaran yang sangat indah dan agung, betapa seseorang (terlebih pemimpin) haruslah mampu berlaku adil dengan memberikan perhatian yang sama antusiasnya baik terhadap kalangan pembesar maupun rakyat jelata, tidak boleh dibeda-bedakan dalam memperlakukan dan memberikan perhatian.

Ketiga, Rasulullah memperlakukan sama dalam pengajaran dan ibadah antara laki-laki dan perempuan. Sebagaimana diriwayatkan bahwa suatu ketika Asma’ binti Yazid bin Sakan bin Rafi’ bin Imri’il Qais bin Abdul Asyhal bin Haris Al-Anshariyyah menghadap dan memprotes Rasulullah SAW tentang kalangan (para wanita) yang seakan tidak diberi ruang apresiasi yang sama dalam menjalankan aktifitas (ibadah) yang berbeda dengan kalangan laki-laki, seperti melakukan shalat Jum’at dan shalat berjamaah, mengunjungi orang sakit, melayat orang mati, dan berhaji dan jihad fi sabilillah.

Mendengar protes kalangan wanita yang diwakili oleh sahabiyah Asma’ tersebut, Rasulullah bersabda, “Pahamilah wahai perempuan, dan ajarkanlah pada para wanita di belakangmu. Sesungguhnya amal wanita bagi suaminya, meminta keridhaan suaminya, mengikuti apa yang disetujui suaminya setara dengan amal yang dikerjakan oleh kaum lelaki seluruhnya.” Mendengar jawaban Rasulullah SAW, Asma’ merasa sangat gembira lalu beranjak pergi. Hal ini memberikan pengajaran bahwa Rasulullah saw mencontohkan keadilannya bahwa amal kebajikan dan aktifitas ibadah dapat dilakukan oleh siapa saja secara sama namun tetap sesuai dengan porsi dan ranahnya masing-masing.

Keempat, Rasulullah memberikan contoh tentang sikap keadilannya sekalipun terhadap musuh. Sebagaimana dalam kisah antara Rasulullah saw dengan seorang pembesar dari kabilah Hunaifiyyah bernama Sammamah yang menjadi tawanan dan tetap diperlakukan dengan sangat terhormat oleh Rasulullah saw (sebagaimana telah diceritakan pada tulisan di bab yang lain dari tulisan ini). Karena memang Islam mengajarkan untuk tetap memperlakukan dengan adil dan terhormat pada semua tawanan khususnya dari kalangan orang terhormatnya sebagaimana kalangannya menghormatinya.

Keadilan yang dicontohnya oleh Rasulullah adalah teladan yang sempurna dalam menggambarkan tentang perilaku adil. Yaitu bahwa sikap adil bukanlah semata dipahami sebagai suatu keputusan yang semata harus selalu sama. Adil bukanlah semua harus sama rata dan sama rasa, melainkan definisi adil adalah “wad’u syai’ ‘alaa mahallihi, meletakkan sesuatu pada tempatnya secara proporsional”. Inilah keadilan dalam Islam, yaitu segala sesuatu telah Allah swt ciptakan sesuai kadarnya (kapasitas dan timbangannya) masing-masing. Semuanya memiliki pemenuhan yang berbeda. Keadilan akan baru dapat dianggap adil dan mampu memantaskan sesuatu manakala keadilan itu berdasarkan pada ketetapan dari Sang Maha Adil yaitu Allah swt. Karena ketetapanNya pastilah demi kebaikan bagi semua makhluk ciptaanNya. Sehingga keadilan akan tercipta manakala merujuk pada aturan Tuhan dan tidak pada yang lainnya.

————————————————–
by : Akhmad Muwafik Saleh. 22.11.2019
————————————————–
🍀🌼🌹☘🌷🍃🍂❤🌼☘

#pesantrenmahasiswa
#tanwiralafkar
#sentradakwah
#pesantrenleadership
#motivatornasional
#penulis_buku_hatinurani

Klik web kami :
www.insandinami.com

 

Masukkan kata pencarian disini