oleh | Ayyub Syafii
Jika lewatlah engkau, Sya’ban, berarti tertinggal kenangan lama tentang hari dan waktu. Ya, seperti malam-malam nishfu yang dahulu, kami semua berkumpul di masjid setelah maghrib. Shalat sunnah dua rakaat, membaca Yasin tiga kali, lantas bertahlil ramai-ramai.
Setelah itu air bening yang sudah ditaburi dengan doa diperebutkan oleh anak-anak kecil. Bukan dengan keyakinan memperpanjang umur, tetapi sekedar perlambang bahwa malam itu rahmat Alloh turun melimpah-limpah laksana air, dan kami sudah siap menghirupnya.
Menurut Nabi, ibadah manusia dalam bulan Sya’ban dilipatgandakan pahalanya oleh Alloh. Dan dikatakan oleh para ahli hikmah, Sya’ban adalah bulan untuk membersihkan hati.
Wahai Sya’ban, jika engkau lewatlah, engkau akan menjadi saksi kepada Alloh bahwa maksiat orang pun makin menjadi-jadi dalam bulan ini. Banyak yang ke masjid, tetapi banyak juga yang mempergunakan masjid untuk ambisi pribadi. Ada masjid yang memakai beduk, dan ada masjid yang mengutuk beduk. Juga soal jamaah dan jumlah murid terkadang untuk berlomba pasang nama, bukan untuk syi’ar agama. Ada juga yang buat interest pribadi. Dengan jamaah yang berlimpah, namanya terangkat, kedudukannya terhormat.
Yang lain lagi, soal sedekah dan sumbangan hanya untuk dipuji. Yang sangat terlalu, justru kalau ada ustadz atau kyai yang memuji-muji di atas mimbar tentang kedermawanan seseorang. Berarti mendidik manusia untuk riya dalam amalnya. Bukankah sama dengan mengajari mereka untuk menjadi pendusta agama?
Kalau lewatlah engkau, Sya’ban, engkau akan menghapus dosa sang hamba. Lantaran Nabi saw. pernah bersabda, “Tidak ada suara yang lebih dicintai oleh Alloh daripada suara seorang hamba yang sedang bertobat.” Tetapi, engkau juga akan lewat untuk melaknat, yakni mereka yang berkhianat terhadap rahmat, membohongi rakyat dan menyelewengkan amanat.
Sya’ban yang suci, berlalulah engkau dengan tenang, menyobek kabisat demi kabisat. Kami yang kau tinggal hanya mampu melambaikan tangan. Batuk mendecing tidak mampu berobat. TBC melumat paru-paru kami biarkan. Sebab obat makin lama makin mahal, sementara pekerjaan makin sukar dikejar. Untuk menjadi pegawai, saingan kelewat berjubel. Yang diterima sekian ratus, yang mendaftar sekian ribuan.
Ah, Sya’ban, tahukah engkau bahwa mantri kesehatan di depan rumahku tarifnya sudah melangit? Dan anak yang tiba-tiba sakit kritis, ke mana harus minta tolong? Banyak dokter di sebelah rumah, tetapi banyak yang sulit dimintai bantuan mendadak. Dan banyak lagi yang ternyata bukan dokter-dokter kami, tetapi dokter-dokter gedongan. Kalau yang memisahkan hanya tembok, kami bisa loncat, wahai Sya’ban, tetapi yang memisahkan adalah kantung. Dengan apa batas ditempuh jika demikian? Merampok? Itu haram. Korupsi? Kami belum punya jabatan.
Jika lewatlah Sya’ban keramat, maka kuburan sudah banyak dibongkar. Yang keramat bukanlah makam atau orang suci. Yang keramat di zaman ini adalah mereka yang berduit dan bisa mengambil kesempatan. Kaulihat, Sya’ban, orang ziarah sekarang sambil pacaran dan pakai celana jean atau celana ketat yang merangsang?
Dulu taburkan kembang ke atas kubur, sekarang ada yang bawa gitar, menyanyi di pusara ibunya. Itu adalah hak asasi. Tetapi, apakah akan dibiarkan juga pelacur menebarkan tikarnya dan berzina di atas tengkorak para mendiang?
Oh, Sya’ban, engkau adalah nama bulan. Kami tinggal menghitung. Kedatanganmu tanpa terasa, juga lewatmu tidak terasa. Tetapi, yang makin perih pundak dan hati kami. Dulu tempat melacur tersembunyi. Sekarang singgalah di warung-warung pinggir jalan, di hotel-hotel besar dan losmen, dip anti-panti pijat, di nite club remang-remang atau di lokalisasi. Apa yang kau dapati?
Karena itu kami ingin berkompromi denganmu Sya’ban. Jangan kau catat yang jelek-jelek tentang kami, nanti engkau kami sanjung kami hormati. Bukankah tak ada urusan zaman ini yang takkan beres dengan kolusi, korupsi dan nepotisme? Pokoknya asal ente bijaksana, ana pun bakal tahu diri. TST-lah, kita makan sama-sama.
Tulisan ini khusus untukmu, Sya’ban. Jangan kasih lolos pada orang lain. Sebab kami sedang memperbaiki langkah. Restu keagunganmulah sebagai bulan Nabi yang kami harapkan, mudah-mudahan mempercepat sampainya harapan rakyat.
Jika lewatlah Sya’ban, maka kami semua sedang bersiap-siap diri. Kami bangun negeri ini, sebab inilah satu-satunya milik kami.[]