Khutbah Jum’at
oleh Abina KH. Ihya’ Ulumiddin
(Diantara Hikmah-Hikmah Haji)
Sidang Jumat hafidhokmulloh,
Terdengar sayup-sayup
لَبَّيْكَ اللّهُمّ لَبّيْك ,لَبَّيْكَ لَاشَرِيْكَ لَكَ لَبَّيكْ ,ِانّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ,لَا شَرِيْكَ لَكْ
“Aku memenuhi panggilan-Mu, ya Allah, aku memenuhi panggilan-Mu. Aku memenuhi panggilan-Mu, tidak ada sekutu bagi-Mu, aku memenuhi panggilan-Mu. Sesungguhnya segala puji bagi-Mu, segala nikmat, dan segala kekuasaan milik-Mu. Tidak ada sekutu bagi-Mu”. ( Lafadz Talbiyah )
Di bulan Dzulqo’dah ini, kita menyaksikan sebagian saudara-saudara kita menunaikan ibadah haji, bergabung dengan lebih dari satu juta calon jamaah haji dari berbagai penjuru dunia tahun ini. Seperti diketahui, rangkaian bulan-bulan haji itu tiga bulan, yaitu Syawal,Dzulqo’dah, dan Dzulhijjah.
Adalah satu kebahagiaan dan keberuntungan bila kita bisa menunaikan ibadah haji. Di samping sebagai tiang penegak agama Islam yang terakhir, ibadah haji mengandung makna-makna dan hikmah-hikmah yang besar yang patut menjadi renungan kita bersama, baik yang akan, tengah, maupun yang sudah menunaikannya, atau bagi yang baru memiliki azam menunaikannya.
Diantara makna dan hikmah itu adalah bahwasanya haji berarti memenuhi panggilah Allah swt yang diumumkan oleh baginda Nabi Ibrahim as, sebagai Abul Anbiya’ dan pelopor penyeru tauhid, yang kemudian dilanjutkan pengumumannya oleh baginda Rasulullah saw. Allah swt berfirman :
“Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh, supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari-hari yang telah ditentukan. “( Q.S. al Hajj : 27-28 )
Mendapatkan perintah untuk mengumumkan syariat haji ini, Nabi Ibrahim as lalu menyeru :
اَيُّهَا النّاسُ اِنّ اللهَ قَدِابْتَنَى لَكُمْ بَيْتًا فَحَجُّوْ هُ
Wahai seluruh manusia, sesungguhnya Allah telah membangun “rumah” ( Baitullah ) untuk kalian, maka tunaikanlah haji ke “ rumah” itu. ( Tafsir Ibnu Katsir, Mukhtashar Ali ash-Shabuni :2/539 )
Sidang Jumat hafidhokmulloh,
Seruan Nabi Ibrahim bergema ke mana-mana, walaupun posisi Makkah waktu itu sepi dan tanpa memakai pengeras suara, karena dalam hal itu Allah-lah yang mengirim dan menyebarkan panggilan dan seruan itu.
Atas dasar bahwa haji adalah panggilan Allah swt., orang-orang yang menunaikan haji begitu bertolak memulai ibadah ini, mereka mengucapkan lafadz : “Labbaik, Allahumma, Labbaik,” yang berarti, “Aku memenuhi panggilan-Mu, ya Allah, aku memenuhi panggilan-Mu”. Mereka hakikatnya datang melaksanakan manasik dalam rangka memenuhi panggilan Allah swt. Mereka datang ke tempat-tempat haji sebagai bentuk ketaatan dan kepatuhan kepada-Nya,meninggalkan keluarga, anak-anak, kekayaan, negeri, dan meninggalkan berbagai kegiatan sehari-harinya. Lafat talbiyah itu di gemakan mereka berulang-ulang.
Dalam lafadz talbiyah disebutkan kata-kata,
اِنّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ,لَا شَرِيْكَ لَكَ
“Sesungguhnya segala puji, segala nikmat, dan segala kekuasaan milik-Mu. Tidak ada sekutu bagi-Mu.”
Dalam kata-kata ini disebut-sebut segala puji, segala nikmat, dan segala kekuasaan, sebagai kepunyaan Allah swt. Jamaah haji memiliki sekian banyak nikmat yang diterimanya. Mereka mengikrarkan bahwa karunia-karunia itu adalah kepunyaan Allah swt. Segala puji milik-Nya. Kekuasaan, kekuatan, dan status apa saja yang mereka miliki dinisbatkannya sebagai kekuasaan Allah swt.,Dzat Yang Maha Esa dan Maha Kuasa. Mereka menegaskan ikrar itu dengan menyatakan bahwa tidak ada sekutu yang bisa menyamai dan menandingi Allah swt. “Tidak ada sekutu bagi-Mu”.
Ada empat nikmat terbesar yang diterima umat manusia, khususnya yang diterima oleh orang-orang yang menunaikan haji, dari Allah swt., yaitu :
Pertama, nikmat berupa pengakuan akan tauhid di alam dzar dahulu. Seperti diketahui, di alam dzar dahulu, seluruh umat manusia bejanji setia mengakui ketuhanan dan keesaan Allah swt. Di dalam kitab suci Al-Qur’an disebutkan
“Dan ( ingatlah ), ketika Tuhanmu mengeluarkan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman ) : “Bukankah aku ini Tuhanmu?”. Mereka menjawab, “betul (Engkau Tuhan kami ), kami menjadi saksi-saksi”. ( Kami lakukan yang demikian itu ) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan, “Sesungguhnya kami ( bani adam ) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini ( tauhid ).” ( Q.S. al-A’raf : 172 )
Kedua, nikmat diciptakan dan dilahirkan ke dunia dari asalnya tidak ada. Ini hanya terjadi atas kehendak dan kekuasaan Allah swt.
Ketiga, nikmat diberikan hidayah memeluk agama Islam, agama yang haq. Hal ini karena memeluk selain agama islam berarti telah menyodorkan diri untuk mendapat niqmat (siksa ) dari Allah swt.
Keempat, nikmat telah diberikan taufiq mampu menunaikan ibadah haji. Dengan mampu menunaikan ibadah haji, terbentukklah kesinambungan ikrar di alam dzar dahulu, ikrar mentauhidkan Allah swt ; bangkitlah rasa dan keyakinan akan kemahakuasaan Allah swt ; dan terpenuhilah rukun kelima agama Islam yang dipeluknya sebagai rukun pamungkas.
Sidang Jumat hafidhokmulloh,
Talbiyah yang agung dan yang dalam maknanya merupakan syi’ar/perlambangan/semboyan haji. Talbiyah merupakan pengakuan nilai-nilai haji seluruhnya, sebagimana bacaan surat al-Fathihah menggambarkan nilai-nilai dalam ibadah shalat.sebagaimana kita mengulang -ulang al-Fatihah dalam shalat, dalam shalat lima waktu sehari semalam saja kita harus mengulangnya 17 kali, belum lagi bila kita melengkapi dengan shalat – shalat sunah, begitulah para jamaah haji mengulang – ulang bacaan talbiyah. Dalam bagian terbesar, maknah talbiyah bahkan mirip ( ada keserupaan ) dengan makna surat al-Fatihah. Misalnya :
Lafadz انّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ mirip dengan: اَلْحَمْدُ لِلهِ رَبّ الْعَالَمِيْنَ .Lafadz: وَالْمُلْكَ… mirip dengan: مَالِكِ يَوْمِ الدِّيْنِ . Lafadz: لَبَّيْكَ اللّهُمّ لَبَّيكْ,لَبّيكَ لَا شَرِيْكَ لَكَ لَبَّيْكَ , mirip dengan makna : اياك نَعْبُدُ وَاِيّاكَ نَسْتَعِيْنُ . Kedudukan haji sebagai pamungkas rukun-rukun Islam mirip dengan makna ayat: اِهْدِنَا الصّرَاطَ الْمُسْتَقِيْمَ . “ Shirothol Mustaqim” di sini adalah Islam.Keberadaan para Nabi وRosul,shiddiqhin,syuhada’,dan orang-orang sholih yang senantiasa menunaikan haji tersebut di atas,serupa dengan makna: صِرَاطَ الّذِيْنَ اَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ
Empat nikmat yang di kandung oleh lafadz talbiyah tersebut di atas dan nikmat – nikmat lain yang di kandungnya merupakan nikmat- nikmat terbesar yang sepatutnya dilestarikan khususnya oleh orang – orang yang menunaikan ibadah haji, agar menjadi haji mabrur.Alangkah bahagia dan beruntung orang -orang yang mengapai haji mabrur. Dalam hadis yang shahih, Rasulullah saw bersabda,
اَلْحَجُّ الْمَبْرُوْرُ لَيْسَ لَهُ الْجَزَاءُ اِلّا الْجَنَّة – رواه البخا رى ومسلم
“Haji mabrur,tidak ada balasan baginya kecuali surga”.(HR.Bukhori Muslim)
Rasulullah saw juga bersabda,
اَفْضَلُ الْجِهَادِ الْحَجُّ الْمَبْرُوْرُ – رواه البخا رى ومسلم
“Seutama – utama jihad adalah haji yang mabrur” ( HR. Bukhari dan Muslim)
Riwayat lain mengatakan,
اَمَا عَلِمْتَ اَنّ الْاِسْلَامَ يَهْدِمُ مَا قَبْلَهُ وَاَنّ الْهِجْرَةَ تَهْدِ مُ مَا قَبْلَهَا وَاَنّ الْحَجّ يَهْدِمُ مَا قَبْلَهُ – رواه ومسلم
“Apakah engkau tidak mengetahui bahwa Islam menghapus dosa – dosa sebelumnya. Hijrah menghapus dosa – dosa sebelumnya. Dan haji juga menghapus dosa – dosa sebelumnya.?!” ( HR Muslim )
Dan berbagai janji kebahagiaan dan keberuntungan lainnya.
Di sisi lain kita melihat nikmat -nikmat yang agung di muka tidak di lestarikan,bahkan di respon dengan kelengahan oleh sebagian orang. Ada orang yang jauh lebih kaya dan jauh lebih kuat, namun enggan melaksanakan haji . Mereka mengabaikan nikmat -nikmat itu. Mereka adalah orang -orang yang terhalang dari rahmat Allah swt. Dalam sebuah hadis Qudsi, Allah swt menyatakan,
اِنّ عَبْدًا اَصْحَحْتُ لَهُ جِسْمَهُ وَاَوْسَعْتُ عَلَيْهِ فِي الْمَعِيْشَةِ تَمْضِى عَلَيْهِ خَمْسَةُ اَعْوَامٍ لَا يَغْدُ اِلَىَّ لَمَحْرُوْمٌ
“Sesungguhnya seorang hamba yang telah Aku sehatkan tubuhnya dan aku lapangkan sumber ke hidupanya, lalu berlalu lima tahun dia tidak berangkat pergi ke pada ku ( haji ) maka dia mahrum ( orang yang terhalang dari rahmat Allah swt )”. ( HR Ibnu Abi Syaibah ).
Dalam sebuah hadis yang lain dinyatakan,
مَنْ مَاتَ وَلَمْ يَحُجَّ حُجَّةَ الْاِسْلَا مِ لَمْ يَمْنَعْهُ مِنْ ذَ لِكَ مَرَضٌ حَا بِسٌ اَوْسُلْطَانٌ جَائِرٌ اَوْحَاجَةٌ قَاهِرَةٌ فَلْيَمُتْ عَلىَ اَىِّ حَالٍ اِنْ شَاءَ يَهُوْدِيًّا وَاِنْ شَاءَنَصْرَانِيًّا
“Barangsiapa meninggal dan tidak berhaji dengan haji yang sesuai dengan tuntunan Islam, dan ia tidak di halangi oleh sakit, penguasa yang sewenang -wenang,atau kebutuhan yang memaksa, maka hendaklah ia meninggal dalam ke adaan apapun. Jika berkehendak, boleh lah ia mati sebagai yahudi atau sebagai Nasrani”. ( HR Said bin Manshur )
Sidang Jumat hafidhokmulloh,
Alangkah berat ancaman agama atas orang -orang yang lengah dari menunaikan haji padahal mampu. Semoga Allah swt menjauhkan kita dari sikap ini.
Nasehat Allah swt agar kita berbekal baik material maupun mental, dalam masalah haji khususnya, patut menjadi renungan ;agar kita tidak menjadi orang yang lengah dalam menunaikannya padahal mampu, agar kita ( yang tengah dan yang sudah menunaikan haji ) di nilai hajinya oleh Allah swt sebagai haji yang mabrur; dan agar kita yang baru memiliki azam diberikan kemampuan dan kemudahan menunaikannya di suatu hari, sebagai bagian dari menyambut dan memenuhi maklumat Nabi Ibrahim AS ;atas mandat dari Allah swt, sebagai bagian memenuhi rukun Islam yang pamungkas , dan sebagai bagian dari melestarikan nikmat – nikmat Allah swt.
Allah swt berfirman,
“Berbekallah,dan sesungguhnya,sebaik- baik bekal adalah taqwa dan bertawakallah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal”. ( QS al-Baqarah : 197 )
Ayat yang terkandung didalamnya perintah berbekal ini istimewa karena ia dirangkai dengan ayat-ayat haji. Sekali lagi ini menunjukkan pentingnya kita berbekal materi dan moral kaitannya dengan ibadah haji. Dan sebaik-baik bekal adalah takwa; takwa dalam materi yang kita usahakan dan dalam moral yang kita lakukan.
Wallohu Subhaanahu Wa Ta’ala A’lam