Pertanyaan:
Pengasuh Fas’alu yang semoga dijaga Allah. Apakah Iddah juga berlaku bagi wanita yang hamil karena zina (Iddah Bagi Peremuan Hamil Karena Zina) ?
~Fulanah di Surabaya
Jawaban:
Definisi Iddah menurut imam empat (Imam Maliki, Imam Hanafi, Imam Syafi’i, Imam Hambali) terdapat beberapa pendapat:
- Menurut Imam Abu Hanifah: Iddah memiliki dua definisi: a) Tempo waktu yang diwajibkan guna menghabiskan segala yang berbekas dari pernikahan atau hubungan ranjang, b) Masa menunggu perempuan dalam tempo waktu yang ditentukan dan diwajibkan baginya setelah lepasnya tali perkawinan.
- Menurut Imam Malik: Iddah adalah masa dilarangnya melangsungkan perkawinan, yang disebabkan tertalaknya perempuan atau sebab meninggalnya suami atau sebab terjadinya kerusakan pernikahan (faskhunnikah)
- Menurut Imam Syafi’i: Iddah adalahtempo waktu menunggu yang dijalani oleh seorang wanita guna mengetahui kekosongan rahimnya dari kandungan atau hanya untuk mengabdi mengikuti perintah Allah (ta’abbud) atau karena untuk merasa sakit dan sedih atas wafatnya suaminya
- Menurut Imam Ahmad Bin Hambal: Iddah adalah masa menunggu yang dijalani oleh seorang perempuan dalam tempo terbatas menurut syara’ (Fiqh ‘Ala Madzahibil Arba’ah: 4/513-518, cetakan: Darul Ihya’ut Turost Al-Aroby, Beirut, Lebanon)
Iddah ini disyari’atkan pada dasarnya untuk menjaga nasab (keturunan) agar murni, tidak bercampur-aduk dengan keturunan orang lain. Dari sini tentunya hal tersebut terjadi dalam keadaan ikatan pernikahan yang sah. Oleh karena itu, tidak ada Iddah (tidak wajib) bagi seorang perempuan yang hamil dari hubungan yang tidak sah (zina), karena hasil hubungan tersebut tidak suci (tidak terhormat) atau haram. Maka dari itu, anak yang lahir dari hasil perbuatan tersebut dinamakan anak haram (tidak bernasab pada laki-laki yang menghamili ibunya). Anak itu hanyalah menjadi anak ibunya saja. Oleh karena itu tidak ada Iddah bagi perempuan yang berzina tadi. Maka boleh saja dia menikah dengan siapapun walaupun dia dalam keadaan hamil. Ini merupakan kesepakatan madzhab Imam Syafi’i. dan boleh langsung menjalani hubungan suami istri dengan suaminya. Ini adalah pendapat yang ashohh dalam madzhab Syafi’i. Adapun menurut madzhab imam Abu Hanifah, boleh kawin kapan saja dengan siapa saja, tapi tetap tidak boleh melakukan hubungan suami istri sampai dia melahirkan janin dari hasil zina tadi.
Pendapat kedua Imam tadi selaras dengan pendapat Imam Ats-Tsauri dan pendapat para ulama’ lain dari generasi sahabat, diantaranya adalah Abu Bakar Ash-shiddiq ra, Umar Bin Khatthab ra., dan Ali bin Abi Thalib ra. ( Lihat “Fiqhu Sunnah” Sayyid Sabiq. 2/282 cetakan “Darul Fikr” tahun: 1992/1412 H. Majmu’” Imam Nawawi/ Muhammad Syekh Najib Mufti: 19/ 309 cetakan “Darul Ihya’ut Turots Al-Aroby” ke I tahun 2001/ 1422 H. “Mughnil Muhtaj” Al–Khotib Asy-Syarbini 5/167 cetakan “Darul Ihya’ut Turost” Beirut, Lebanon. Juga “Nihayatul Muhtaj” Imam Romi 7/126 cetakan “Darul Fikr. “Fiqih Alal Mdzahibul Arba’ah” 4/ 521-515.
Adapun menurut Imam Malik dan Imam Ahmad Bin Hambal perempuan yang hamil dari hasil zina tetap ada Iddahnya (wajib Iddah) dan tidak menikah sampai masa habis Iddahnya yang disamakan dengan Iddah perempuan yang tertalak yaitu, tiga kali masa sucian atau tiga kali masa haid. Ini pendapat Imam Malik dan salah satu versi riwayat dari Imam Ahmad. Sementara dalam riwayat lain, Imam Ahmad mengatakan bahwa Iddah wanita yang hamil dari zina adalah satu kali haid sebagaimana wanita yang dikumpuli karena kesalahfahaman (wati syubhat). Dan pendapat ini juga mendapat dukungan dari beberapa ulama’ besar seperti Al-Hasan al-Basri dan Ibrahim An-Nakho’i. (Lihat “Al Majmu’” Imam Nawawi/Muhammad Najib Al-Mu’thi, 19//309 cetakan “Darul Ihya’ut Turost Al-Aroby”).
Mengakhiri pembahasan ini, diutarakan tiga bait sya’ir seorang tokoh fiqih Syafi’i tentang bolehnya mengawini perempuan yang hamil dari zina (tidak wajib Iddah) kapan saja. Bahkan laki-laki yang menzinahi tadi boleh kawin dengan anaknya (dari hasil zina). Hal ini menunjukkan kalau sperma hasil zina tidak suci, tidak ada kemuliaannya. Bait tersebut adalah:
وَإِنْ زَنَى لَمْ يَمْتَنِعْ بَعْدَ الزِّنَا # أَنْ يَنْكِحَ اْلأُنْثَى الَّتى بِهَا زَنَى
أَوْبِنْـتَهَا أَوْ أُمَّهَا حَتَّى الَّتِى # مِنْ مَائِهِ بَعْدَ الزِّنَا بِهَا أُوْتِى
لَكِنْ مَعَ الْكَرَاهَةِ الشَّرْعِيَّة # فِى هَذِهِ وَاْلإِرْثُ بِالزَّوْجِيَّـة
Jika seorang lelaki berzina, maka tidak dilarang menikahi wanita yang dizinahi
Atau puterinya atau ibunya atau bahkan anak yang terlahir dari perzinaan tersebut.
Tetapi hal ini (menikahi anak sendiri dari hasil zina) hukumnya makruh. Dan warisan antara
keduanya adalah karena ikatan suami isteri.